Militer Indonesia Menitikberatkan Pertahanan di Pulau Besar dan Strategis
TIMEMOMENTS.COM - Selain membangun doktrin Preemptive Strike, Indonesia tak lupa bagaimana merencanakan straregi defensif.
Strategi menyerang seperti preemptive strike memenangkan pertempuran tapi taktik defensif terkuat memenangkan perang.
Contoh terbaik hal ini terjadi pada pertempuran Khandaq pada 31 Maret- April 627 Masehi.
Saat itu pasukan Muslim memilih membangun Defensive Line berupa parit-parit menahan gempuran kaum Quraish yang mengepung Madinah.
Baca Juga : Militer Indonesia Disebut Kekuatan Regional yang Memikul Tanggung Jawab Besar di ASEAN
Pertahanan parit nan rapat membuat pasukan Muslim berhasil mengurangi jatuhnya korban yang sangat sedikit.
Sementara kaum Quraish terus menerus menyerang tapi tertahan dengan pertahanan solid lawannya.
Pun dengan tentara Uni Soviet saat menahan serangan Jerman pada Operasi Barbarossa.
Selain menghadapi pertahanan super rapat Tentara Merah, Jerman mesti menghadapi ganasnya musim beku di Eropa Timur, membuat mereka kalah.
Jadi tak selamanya strategi defensif itu disalahartikan tak mampu melakukan serangan ofensif, ini murni taktik.
"Arah pembangunan kekuatan pertahanan nasional dengan menitikberatkan pada strategi pertahanan di pulau-pulau besar dan pulau-pulau strategis," jelas Kementerian Koordinator Bidang Politik dan Keamanan (Kemenko Polkam) pada 30 Oktober 2025.
Masih menurut Kemenko Polkam, strategi tersebut diarahkan membentuk Komando Gabungan Wilayah Pertahanan (Kogabwilhan).
Tujuannya setiap Kogabwilhan mampu menggelar pertahanan secara mandiri namun tetap terkoneksi dengan pusat komando di Ibukota.
Tak masalah bila militer Indonesia membangun pertahanan di pulau besar tapi patut dipastikan bahwa sistem pertahanan harus mampu memberi pukulan telak agresor sehingga tak bisa melakukan hal serupa lagi di masa depan.*
Strategi menyerang seperti preemptive strike memenangkan pertempuran tapi taktik defensif terkuat memenangkan perang.
Contoh terbaik hal ini terjadi pada pertempuran Khandaq pada 31 Maret- April 627 Masehi.
Saat itu pasukan Muslim memilih membangun Defensive Line berupa parit-parit menahan gempuran kaum Quraish yang mengepung Madinah.
Baca Juga : Militer Indonesia Disebut Kekuatan Regional yang Memikul Tanggung Jawab Besar di ASEAN
Pertahanan parit nan rapat membuat pasukan Muslim berhasil mengurangi jatuhnya korban yang sangat sedikit.
Sementara kaum Quraish terus menerus menyerang tapi tertahan dengan pertahanan solid lawannya.
Pun dengan tentara Uni Soviet saat menahan serangan Jerman pada Operasi Barbarossa.
Selain menghadapi pertahanan super rapat Tentara Merah, Jerman mesti menghadapi ganasnya musim beku di Eropa Timur, membuat mereka kalah.
Jadi tak selamanya strategi defensif itu disalahartikan tak mampu melakukan serangan ofensif, ini murni taktik.
Kekuatan Ofensif Vs Defensif
Sejatinya jika ingin menyerang lawan yang tengah bertahan, kekuatan ofensif yang diterjunkan mesti besar.
Pada operasi pendaratan amfibi misalnya, kekuatan si penyerang mesti tiga kali lipat dibanding yang bertahan.
Analoginya bila kekuatan lawan yang bertahan 1000 prajurit maka si penyerang mengerahkan 3000 personel.
Hal inilah dulu yang menjadi pakem pelaksanakaan Operasi Jayawijaya saat angkatan bersenjata Indonesia berusaha merebut Irian Barat.
Untuk melaksanakan operasi amfibi, militer Indonesia menyiapkan 16.000 prajurit ditambah 100 kapal perang.
Itu belum termasuk pasukan Lintas Udara (Linud) dan pasukan khusus yang sudah disusupkan lebih dulu ke Irian Barat.
Besarnya skala operasi Jayawijaya mengakibatkan Belanda mengirim penguatan kapal induk Hr.Ms. Karel Doorman.
Jumlah pasukan Belanda di Irian Barat diyakini tak lebih dari 7000 personel, namun mereka bisa mendapatkan bantuan dari NATO bila pecah perang.
Belanda sendiri mengambil sikap defensif menghadapi Indonesia di Irian Barat tapi malah berhasil menenggelamkan RI Matjan Tutul serta menangkapi prajurit PGT yang diterjunkan di sana.
Pertahanan di Pulau Besar
Dalam rencana Optimum Essential Force (OEF) yang tengah digodok, militer Indonesia merencanakan penguatan sistem pertahanan di pulau-pulau besar dan startegis.
Tujuannya menjamin keberlangsungan negara Indonesia tetap eksis dalam situasi perang.
Sejatinya jika ingin menyerang lawan yang tengah bertahan, kekuatan ofensif yang diterjunkan mesti besar.
Pada operasi pendaratan amfibi misalnya, kekuatan si penyerang mesti tiga kali lipat dibanding yang bertahan.
Analoginya bila kekuatan lawan yang bertahan 1000 prajurit maka si penyerang mengerahkan 3000 personel.
Hal inilah dulu yang menjadi pakem pelaksanakaan Operasi Jayawijaya saat angkatan bersenjata Indonesia berusaha merebut Irian Barat.
Untuk melaksanakan operasi amfibi, militer Indonesia menyiapkan 16.000 prajurit ditambah 100 kapal perang.
Itu belum termasuk pasukan Lintas Udara (Linud) dan pasukan khusus yang sudah disusupkan lebih dulu ke Irian Barat.
Besarnya skala operasi Jayawijaya mengakibatkan Belanda mengirim penguatan kapal induk Hr.Ms. Karel Doorman.
Jumlah pasukan Belanda di Irian Barat diyakini tak lebih dari 7000 personel, namun mereka bisa mendapatkan bantuan dari NATO bila pecah perang.
Belanda sendiri mengambil sikap defensif menghadapi Indonesia di Irian Barat tapi malah berhasil menenggelamkan RI Matjan Tutul serta menangkapi prajurit PGT yang diterjunkan di sana.
Pertahanan di Pulau Besar
Dalam rencana Optimum Essential Force (OEF) yang tengah digodok, militer Indonesia merencanakan penguatan sistem pertahanan di pulau-pulau besar dan startegis.
Tujuannya menjamin keberlangsungan negara Indonesia tetap eksis dalam situasi perang.
![]() |
| Kogabwilhan bertanggung jawab menyiapkan pertahanan di pulau besar |
"Arah pembangunan kekuatan pertahanan nasional dengan menitikberatkan pada strategi pertahanan di pulau-pulau besar dan pulau-pulau strategis," jelas Kementerian Koordinator Bidang Politik dan Keamanan (Kemenko Polkam) pada 30 Oktober 2025.
Masih menurut Kemenko Polkam, strategi tersebut diarahkan membentuk Komando Gabungan Wilayah Pertahanan (Kogabwilhan).
Tujuannya setiap Kogabwilhan mampu menggelar pertahanan secara mandiri namun tetap terkoneksi dengan pusat komando di Ibukota.
Tak masalah bila militer Indonesia membangun pertahanan di pulau besar tapi patut dipastikan bahwa sistem pertahanan harus mampu memberi pukulan telak agresor sehingga tak bisa melakukan hal serupa lagi di masa depan.*


Posting Komentar untuk " Militer Indonesia Menitikberatkan Pertahanan di Pulau Besar dan Strategis"