Pengamat Politik Moskow Sebut Indonesia Sangat Berpotensi Miliki Senjata Nuklir
TIMEMOMENTS.COM - Memang tak bisa disangkal senjata nuklir merupakan jaminan keamanan suatu negara.
Korea Utara contohnya, dengan pengayaan uranium berujung pada pembuatan senjata nuklir memastikan mereka tak diganggu lebih jauh oleh AS dan Korea Selatan.
Kemampuan Korea Utara membangun senjata nuklir ditengah sanksi AS begitu bagus jika dilihat dari kacamata subjektif.
Bahkan Pyongyang berhasil mengekspor rudal balistik Hwasong-6 yang bisa diisi hulu ledak nuklir.
Kemampuan Korea Utara membangun senjata nuklir ditengah sanksi AS begitu bagus jika dilihat dari kacamata subjektif.
Bahkan Pyongyang berhasil mengekspor rudal balistik Hwasong-6 yang bisa diisi hulu ledak nuklir.
Baca Juga : Indonesia Bahas Kemungkinan Membangun Kapal Selam Nuklir dengan Federasi Rusia
AS sebagai negara adidaya sangat tidak senang melihat Korut, Iran, Pakistan hingga Irak dulu memiliki senjata nuklir.
Menurut pandangan Washington, negara-negara di atas terlalu riskan bila memegang senjata nuklir lantaran bisa menggunakannya di sembarang waktu.
Alasan lain tentunya soal hegemoni, Iran dengan persenjataan nuklirnya mengancam Sekutu utama AS di Timur Tengah, Israel.
Sebetulnya AS tak perlu khawatir soal kemampuan Iran, Korut dan Pakistan mempunyai nuklir.
Sebab ketiga negara itu tak memiliki apa yang disebut Triad nuklir.
Gampangnya Triad nuklir adalah kemampuan suatu negara membagi kekuatan senjata pemusnah massal ini menjadi tiga cabang.
Yakni mampu meluncurkan senjata nuklir dari darat, laut dan udara.
AS, Rusia, China dan India ialah tiga negara yang mempunyai kemampuan Triad nuklir.
Tujuannya bila diserang dalam kesempatan pertama, kemampuan nuklir keempat negara itu tak bakal hancur sepenuhnya lalu bisa membalas.
Bandingkan dengan Korut, Iran dan Pakistan, sekali kena serangan nuklir mereka dipastikan tak bisa membalas dengan hal yang sama.
Selain itu ada perjanjian Non-Proliferasi nuklir atau The Nuclear Non-Proliferation Treaty (NPT) yang diteken pada 1968.
AS sebagai negara adidaya sangat tidak senang melihat Korut, Iran, Pakistan hingga Irak dulu memiliki senjata nuklir.
Menurut pandangan Washington, negara-negara di atas terlalu riskan bila memegang senjata nuklir lantaran bisa menggunakannya di sembarang waktu.
Alasan lain tentunya soal hegemoni, Iran dengan persenjataan nuklirnya mengancam Sekutu utama AS di Timur Tengah, Israel.
Sebetulnya AS tak perlu khawatir soal kemampuan Iran, Korut dan Pakistan mempunyai nuklir.
Sebab ketiga negara itu tak memiliki apa yang disebut Triad nuklir.
Gampangnya Triad nuklir adalah kemampuan suatu negara membagi kekuatan senjata pemusnah massal ini menjadi tiga cabang.
Yakni mampu meluncurkan senjata nuklir dari darat, laut dan udara.
AS, Rusia, China dan India ialah tiga negara yang mempunyai kemampuan Triad nuklir.
Tujuannya bila diserang dalam kesempatan pertama, kemampuan nuklir keempat negara itu tak bakal hancur sepenuhnya lalu bisa membalas.
Bandingkan dengan Korut, Iran dan Pakistan, sekali kena serangan nuklir mereka dipastikan tak bisa membalas dengan hal yang sama.
Selain itu ada perjanjian Non-Proliferasi nuklir atau The Nuclear Non-Proliferation Treaty (NPT) yang diteken pada 1968.
Secara garis besar negara yang terlibat NPT dilarang memberikan teknologi senjata nuklir ke negara lain.
Hal ini untuk mencegah penyebaran senjata tersebut secara luas.
"Traktat Non-Proliferasi Nuklir (NPT) adalah perjanjian yang ditandatangani pada tahun 1968 oleh beberapa negara nuklir dan non-nuklir utama yang berjanji untuk bekerja sama dalam membendung penyebaran teknologi nuklir.
Traktat ini merupakan keberhasilan besar bagi para pendukung pengendalian senjata karena menjadi preseden bagi kerja sama internasional antara negara-negara nuklir dan non-nuklir untuk mencegah proliferasi," jelas history.state.gov.
Di sini dijelaskan bahwa negara berkembang bila memiliki senjata nuklir akan menggangu keseimbangan kekuatan antara negara adidaya.
Jelas bahwa memang negara adidaya tak mau hegemoni mereka terganggu, baik itu AS atau Rusia.
"Jika lebih banyak negara, terutama negara berkembang yang berada di pinggiran keseimbangan kekuatan antara kedua negara adidaya Perang Dingin, mencapai kemampuan nuklir, keseimbangan ini berisiko terganggu dan sistem pencegahan akan terancam.
Lebih lanjut, jika negara-negara dengan sengketa perbatasan yang bergejolak menjadi mampu menyerang dengan senjata nuklir, maka kemungkinan terjadinya perang nuklir dengan dampak global yang sesungguhnya meningkat. Hal ini juga menyebabkan negara-negara nuklir ragu untuk berbagi teknologi nuklir dengan negara-negara berkembang, bahkan teknologi yang dapat digunakan untuk tujuan damai," ungkapnya.
Meski demikian dalam program Atoms For Peace yang digagas pemerintah AS pada 1953 memberikan secara gratis ilmu sekaligus fasilitas pengayaan uranium ke negara lain termasuk Indonesia.
"Traktat Non-Proliferasi Nuklir (NPT) adalah perjanjian yang ditandatangani pada tahun 1968 oleh beberapa negara nuklir dan non-nuklir utama yang berjanji untuk bekerja sama dalam membendung penyebaran teknologi nuklir.
Traktat ini merupakan keberhasilan besar bagi para pendukung pengendalian senjata karena menjadi preseden bagi kerja sama internasional antara negara-negara nuklir dan non-nuklir untuk mencegah proliferasi," jelas history.state.gov.
Di sini dijelaskan bahwa negara berkembang bila memiliki senjata nuklir akan menggangu keseimbangan kekuatan antara negara adidaya.
Jelas bahwa memang negara adidaya tak mau hegemoni mereka terganggu, baik itu AS atau Rusia.
"Jika lebih banyak negara, terutama negara berkembang yang berada di pinggiran keseimbangan kekuatan antara kedua negara adidaya Perang Dingin, mencapai kemampuan nuklir, keseimbangan ini berisiko terganggu dan sistem pencegahan akan terancam.
Lebih lanjut, jika negara-negara dengan sengketa perbatasan yang bergejolak menjadi mampu menyerang dengan senjata nuklir, maka kemungkinan terjadinya perang nuklir dengan dampak global yang sesungguhnya meningkat. Hal ini juga menyebabkan negara-negara nuklir ragu untuk berbagi teknologi nuklir dengan negara-negara berkembang, bahkan teknologi yang dapat digunakan untuk tujuan damai," ungkapnya.
Meski demikian dalam program Atoms For Peace yang digagas pemerintah AS pada 1953 memberikan secara gratis ilmu sekaligus fasilitas pengayaan uranium ke negara lain termasuk Indonesia.
Syaratnya Indonesia dan negara penerima mesti menggunakan nuklir dengan tujuan kemanusiaan seperti pengobatan atau energi terbarukan.
Tetapi perjanjian NPT mesti terus diperbarui dan AS nampaknya mulai malas mengurusnya.
AS ngambek karena China tak mau masuk ke NPT dan moratorium pengerahan rudal jarak menengah serta pendek (INF) yang berarti Beijing bisa sesuka hati memperbanyak memproduksi hulu ledak nuklir.
Tetapi perjanjian NPT mesti terus diperbarui dan AS nampaknya mulai malas mengurusnya.
AS ngambek karena China tak mau masuk ke NPT dan moratorium pengerahan rudal jarak menengah serta pendek (INF) yang berarti Beijing bisa sesuka hati memperbanyak memproduksi hulu ledak nuklir.
Sementara dalam NPT ada perjanjian untuk membatasi jumlah produksi hulu ledak nuklir.
Menurut Vladimir Shapovalov yang merupakan wakil direktur Institut Sejarah dan Politik di Universitas Pedagogis Negeri Moskow hal ini membuat negara seperti Indonesia bisa memiliki senjata nuklir.
"Jika negara-negara nuklir gagal memulai kembali sistem nonproliferasi nuklir yang telah dihancurkan Amerika, teknologi nuklir akan berkeliaran di seluruh dunia.
Senjata nuklir mungkin akan segera diperoleh oleh Arab Saudi, Turki, dan Indonesia dengan dalih untuk menjamin keamanan mereka sendiri," ujarnya dikutip dari rossaprimavera.ru pada 6 Agustus 2025 dalam artikelnya berjudul 'Russia predicts the emergence of three new nuclear states'
Shapovalov benar-benar cemas akan hal ini karena ketiga negara itu memiliki potensi militer hingga modal guna memproduksi senjata nuklir.
"Kini setiap negara yang memiliki potensi militer, teknologi, dan ekonomi yang memadai dapat bergabung dengan 'klub nuklir'.
Negara-negara ini bisa saja negara-negara Afrika dan Asia Tengah yang telah memutuskan untuk memperkuat posisi mereka," ujarnya
Entah bagaimana ujung dari ini, yang pasti memang benar setiap negara punya hak memiliki senjata nuklir.*
Menurut Vladimir Shapovalov yang merupakan wakil direktur Institut Sejarah dan Politik di Universitas Pedagogis Negeri Moskow hal ini membuat negara seperti Indonesia bisa memiliki senjata nuklir.
"Jika negara-negara nuklir gagal memulai kembali sistem nonproliferasi nuklir yang telah dihancurkan Amerika, teknologi nuklir akan berkeliaran di seluruh dunia.
Senjata nuklir mungkin akan segera diperoleh oleh Arab Saudi, Turki, dan Indonesia dengan dalih untuk menjamin keamanan mereka sendiri," ujarnya dikutip dari rossaprimavera.ru pada 6 Agustus 2025 dalam artikelnya berjudul 'Russia predicts the emergence of three new nuclear states'
Shapovalov benar-benar cemas akan hal ini karena ketiga negara itu memiliki potensi militer hingga modal guna memproduksi senjata nuklir.
"Kini setiap negara yang memiliki potensi militer, teknologi, dan ekonomi yang memadai dapat bergabung dengan 'klub nuklir'.
Negara-negara ini bisa saja negara-negara Afrika dan Asia Tengah yang telah memutuskan untuk memperkuat posisi mereka," ujarnya
Entah bagaimana ujung dari ini, yang pasti memang benar setiap negara punya hak memiliki senjata nuklir.*


Posting Komentar untuk "Pengamat Politik Moskow Sebut Indonesia Sangat Berpotensi Miliki Senjata Nuklir"