KRI Brawijaya Kesulitan Berbagi Data Pertempuran dengan Diponegoro Class, Martadinata Class dan Fregat Merah Putih
![]() |
KRI Brawijaya dan Diponegoro class (foto: Puspen TNI) |
TIMEMOMENTS.COM - Dalam artikelnya sebelumnya telah disinggung bahwa pembelian KRI Brawijaya persiapan bagi TNI AL melakukan operasi perang laut modern masa kini.
KRI Brawijaya mempunyai berbagai kemampuan menghadapi perang modern baik perang anti kapal selam, anti serangan udara, peperangan elektronik hingga anti kapal permukaan.
Sehingga KRI Brawijaya sangat cocok untuk menghadapi perang laut modern.
Menurut tnial.mil.id pada 8 September 2025, KRI Brawijaya menjadi kapal perang tercanggih dan terbesar di Asia Tenggara.
Baca Juga : Pembelian KRI Brawijaya Jadi Persiapan TNI AL Menggelar Operasi Perang Laut Modern
"KRI ini mampu beroperasi dalam jarak jauh dengan daya jelajah hingga 5.000 Nautical Mile, serta mendukung misi infiltrasi pasukan khusus dan operasi intelijen menjadikannya elemen vital dalam sistem pertahanan negara," jelasnya.
Bermodal korvet PPA ini, TNI AL lebih sigap menjaga perbatasan laut Indonesia dimanapun ia dibutuhkan.
"Dengan bertambahnya KRI Brawijaya-320 ke dalam jajaran Armada TNI AL, Indonesia tidak hanya menunjukkan keseriusannya dalam menjaga kedaulatan wilayah laut, tetapi juga menegaskan posisinya sebagai kekuatan maritim utama di kawasan.
Di tengah dinamika global dan tantangan keamanan yang terus berkembang, TNI AL kini selangkah lebih maju dalam menjaga batas samudra Nusantara," ungkapnya.
Di kawasan Asia Tenggara, negara yang mempunyai angkatan laut yang sudah mapan dalam menghadapi perang laut modern ialah Republic of Singapore Navy (RSN).
Armada perang RSN sudah terhubung dengan Network Centric Warfare (NCW) yang meningkatkan interoperabilitas antar unsur militernya.
Dengan NCW, Formidable class bisa berbagi data pertempuran secara real time dengan RSS Fearless hingga RSS Persistence.
Juga bisa berbagi data dengan A330 MRTT yang dioperasikan RSAF.
Hal seperti inilah yang hendak dicapai oleh TNI AL, pembelian KRI Brawijaya akan mengawalinya.
"Adopsi teknologi canggih ini memunculkan sebuah paradoks kritis. Keunggulan teknologi yang melekat pada alutsista baru ini secara inheren menciptakan kesenjangan kompetensi strategis yang tidak dapat dijembatani oleh sistem pembinaan personel (Binpers) yang ada saat ini.
Platform platform ini bukan sekadar versi yang lebih baik dari kapal atau pesawat lama; mereka mengubah cara perang dilakukan pada level taktis dan menuntut jenis prajurit yang sama sekali baru," majalah Cakrawala terbitan Dinas Penerangan Angkatan Laut (Dispenal) Edisi 466 Tahun 2025 berjudul 'Menjawab Tuntuntan Peperangan Modern dari Akuisisi Fregat PPA dan Kemampuan Drone Nirawak'
Tantangan ini membuat TNI AL mesti lebih memajukan dan mengolah lagi pendidikan sumber daya manusianya.
Selain itu dibutuhkan pembinaan lebih lanjut, berjenjang agar optimal mengoperasikan alutsista berteknologi mutakhir.
"Keunggulan teknologi yang melekat pada fregat PPA dan sistem UAV tidak akan dapat diterjemahkan menjadi keunggulan tempur yang efektif tanpa adanya transformasi fundamental dan paralel dalam sistem pendidikan dan pembinaan personel TNI AL.
Untuk menjawab tantangan disrupsi teknologi ini, TNI AL harus beralih dari model manajemen berbasis administrasi senioritas menuju Sistem Manajemen Talenta Terpadu yang meritokratis, berbasis data, dan berorientasi pada kompetensi," jelasnya.
Selain itu jangan sampai gagal dalam menyiapkan SDM karena alutsista yang mempunyai teknologi canggih ini bakal jadi aset sia-sia lantaran kemampuannya tak dimanfaatkan secara maksimal.
"Kegagalan dalam melaksanakan revolusi humanware ini akan secara langsung menghambat dan bahkan meniadakan efektivitas investasi miliaran dolar pada revolusi hardware, menjadikan alutsista modern hanya sebagai aset yang potensinya tidak termanfaatkan secara maksimal," ungkapnya.
Selain itu ada tantangan lain bagi TNI AL mengintegrasikan sistem tempur KRI Brawijaya dan kapal perang lainnya supaya bisa satu 'wadah'
Hal ini bertujuan agar KRI Brawijaya bisa berbagi data pertempuran secara real time serta berkomunikasi dengan kapal perang lainnya sehingga aspek interoperabilitas tercapai.
![]() |
Network Centric Warfare TNI AL (foto :Defense Studies) |
"Akuisisi PPA dari Italia, yang menggunakan CMS Leonardo ATHENA, memberikan tantangan interoperabilitas dalam armada yang sudah sangat beragam. TNI AL kini harus mengintegrasikan platform ini dengan fregat kelas SIGMA dan PKR yang menggunakan CMS Thales TACTICOS dari Belanda, serta Fregat Merah Putih yang berbasis desain Arrowhead 140 dari Inggris.
Masalah ini lebih dari sekadar tantangan teknis; ia menciptakan tantangan interoperabilitas manusia. Personel dari kapal yang berbeda harus dilatih pada sistem dengan filosofi, antarmuka, dan protokol data yang berbeda secara fundamental," ungkapnya.
Jika hal ini tak tercapai bakal menghambat olah gerak dan operasi di lapangan.
Paling buruk nantinya kapal perang TNI AL cuma kumpulan alutsista yang memang kuat tapi tak bisa bekerja sama dalam satu tim.
Ibarat sebuah tim sepak bola, mempunyai pemain dengan skill individu hebat namun tak punya taktik kerja sama untuk memenangkan pertandingan.
"Hal ini sangat menghambat fleksibilitas penugasan personel antar-kapal dan merintangi terwujudnya sebuah gambaran taktis tunggal yang koheren di seluruh armada (single integrated operational picture). Tanpa "penerjemah digital" yang efektif antarCMS, sebuah fregat PPA mungkin tidak dapat secara otomatis membagikan data targetnya ke fregat SIGMA untuk melakukan serangan terkoordinasi.
Risiko terbesarnya adalah TNI AL akan beroperasi sebagai "kumpulan individu yang kuat, bukan sebagai tim jaringan yang kohesif," yang pada akhirnya meniadakan esensi dari peperangan jaringan-sentris," bebernya.
Semua akan diusahakan agar KRI Brawijaya bisa matched dengan unsur tempur TNI AL lainnya.*
Posting Komentar untuk " KRI Brawijaya Kesulitan Berbagi Data Pertempuran dengan Diponegoro Class, Martadinata Class dan Fregat Merah Putih"