Tanpa Awak Kapal Terlatih, KRI Brawijaya Terancam Jadi Alutsista Hollow Force Berharga Triliunan Rupiah

Awak kapal KRI Brawijaya ketika dilatih di Italia oleh personel Marina Militare


TIMEMOMENTS.COM - KRI Brawijaya menjadi tonggak penting dimana militer Indonesia harus mulai berbenah dalam menghadapi perang laut modern.

Perangkat canggih yang ada di KRI Brawijaya dan tingkat otomatisasinya belum pernah ada yang serupa di kapal perang Indonesia sebelumnya.

Salah satu yang mencolok di KRI Brawijaya ialah anjungan atau istilahnya Bridge menyerupai kokpit pesawat.

Tongkat kemudinya pun juga menyerupai pesawat.

Baca Juga : KRI Brawijaya Kesulitan Berbagi Data Pertempuran dengan Diponegoro Class, Martadinata Class dan Fregat Merah Putih

Fincantieri sengaja mendesain seperti itu supaya semua kendali kapal berada dalam satu wadah di anjungan.

Bandingkan dengan anjungan kapal perang Indonesia lainnya yang menggunakan model sama seperti sebelum-sebelumnya.

Bukan berarti yang sebelumnya tak canggih, namun KRI Brawijaya mengawali era otomatisasi kapal perang Indonesia dan bila nantinya membeli Belharra class tak begitu kagok mengoperasikannya.

Otomatisasi dilakukan untuk menghemat penggunaan sumber daya manusia namun kapal tetap memberikan kemampuan maksimal di lapangan.

"Kapal patroli kelas Paolo Thaon di Revel buatan Italia yang inovatif dan fleksibel lebih dari sekadar kapal perang serbaguna kapal ini memiliki multikonfigurasi," jelas usni.org pada Januari 2025.

Menurut institut angkatan laut AS tersebut, KRI Brawijaya punya sistem dan sensor sensitif-canggih.

Sehingga diperlukan awak kapal yang cakap mengoperasikannya.

Salah satunya radar AESA Kronos Grand Naval yang nantinya bisa dipasang.

AL Indonesia belum pernah mengoperasikan radar AESA yang ada di kapal perang.

"Konfigurasi PPA juga memiliki skala geser sistem dan sensor yang semakin canggih, termasuk opsi radar AESA, peluncur umpan, dan sonar derek.

Kapal-kapal ini memiliki kecepatan tertinggi 32 knot dan jangkauan jelajah 5.000 mil laut dengan kecepatan 15 knot," jelasnya.

Untuk mengoperasikan KRI Brawijaya pun diperlukan awak kapal yang berbeda dari kapal perang Indonesia lainnya.

Yakni membentuk calon awak kapal menjadi perwira hibrida.

"Akuisisi fregat kelas Pattugliatore Polivalente d'Altura (PPA) dan integrasi Pesawat Udara Nirawak (UAV), penelitian ini mengidentifikasi kesenjangan kompetensi strategis yang muncul akibat adopsi platform berteknologi maju. 

Akuisisi ini menciptakan kebutuhan akan profil perwira baru seperti 'perwira hibrida' navigator-taktis
untuk PPA dan kader spesialis operator-analis untuk UAV yang tidak dapat dipenuhi secara optimal oleh sistem pembinaan personel tradisional," ungkap majalah Cakrawala terbitan Dinas Penerangan Angkatan Laut (Dispenal) Edisi 466 Tahun 2025 berjudul 'Menjawab Tuntuntan Peperangan Modern dari Akuisisi Fregat PPA dan Kemampuan Drone Nirawak'

Yang dimaksud perwira hibrida ialah awak kapal yang mampu bertugas di anjungan maupun di Pusat Informasi Tempur (PIT).

Karena selama ini awak kapal perang Indonesia terbagi dua, yakni hanya bisa bertugas di anjungan tanpa di PIT pun sebaliknya.

"Naval Cockpit (Korvet PPA) menghilangkan sekat ini dan menuntut lahirnya profil perwira hibrida
baru: seorang navigator-taktis yang tidak hanya mahir dalam ilmu navigasi tetapi juga mampu mengelola sistem otomasi dan informasi tempur yang sangat kompleks secara real time.

Tantangan terbesar bagi TNI AL bukanlah sekadar melatih personel cara mengoperasikan joystick atau layar sentuh, melainkan secara fundamental merestrukturisasi seluruh jalur pendidikan, pengembangan karier, dan prosedur jaga untuk menciptakan dan memanfaatkan perwira jenis baru ini secara efektif," jelasnya.

Masalahnya bila hal ini tak terwujud atau setidaknya berjalan, kemampuan KRI Brawijaya tak maksimal bila digunakan.

Seperti dijelaskan di atas bahwa korvet PPA berbeda konfigurasinya dengan kapal perang yang selama ini dioperasikan Indonesia.

Hambatan-hambatan di lapangan ini mesti diselesaikan karena peperangan laut modern memang menuntut menggunakan alutsista macam KRI Brawijaya.

Awak kapal KRI Brawijaya

Jika gagal maka korvet itu jadi Hollow Force.

"Pada akhirnya, adopsi sistem ini bukanlah sekadar reformasi administratif atau modernisasi
fungsi SDM. Ini adalah sebuah investasi strategis yang krusial untuk menjamin daya tempur (fighting power) dan relevansi TNI AL dalam menghadapi kompleksitas medan perang abad ke-21. 

Kegagalan untuk beradaptasi dan berevolusi dalam cara kita mendidik, mengembangkan, dan menempatkan personel terbaik akan menjadikan alutsista modern yang bernilai triliunan rupiah hanya sebagai 'Hollow Force' platform canggih yang tidak mampu mengerahkan potensi penuhnya untuk menjaga kedaulatan maritim Negara Kesatuan Republik Indonesia," bebernya.

Semoga pendidikan personel yang akan mengawaki KRI Brawijaya bisa disesuaikan dengan mengikuti perkembangan teknologi perang laut modern.*

Posting Komentar untuk "Tanpa Awak Kapal Terlatih, KRI Brawijaya Terancam Jadi Alutsista Hollow Force Berharga Triliunan Rupiah"