Militer Indonesia Terlalu Beragam Membeli Jenis Fregat Ciptakan Logistic Nightmare
TIMEMOMENTS.COM - Bisa dibilang dalam beberapa tahun kedepan Indonesia akan dibanjiri kapal perang jenis fregat.
Ada Fregat Merah Putih, Istif class, Martadinata class, Ahmad Yani class bahkan FREMM.
Bahkan masih ada kemungkinan Indonesia menambah fregat bekas pakai macam Iver Huitfeldt class.
Apakah Indonesia membutuhkan fregat?
Ada Fregat Merah Putih, Istif class, Martadinata class, Ahmad Yani class bahkan FREMM.
Bahkan masih ada kemungkinan Indonesia menambah fregat bekas pakai macam Iver Huitfeldt class.
Apakah Indonesia membutuhkan fregat?
Baca Juga : KRI Brawijaya Kesulitan Berbagi Data Pertempuran dengan Diponegoro Class, Martadinata Class dan Fregat Merah Putih
Jawabannya iya, karena Indonesia membutuhkan 36 unit fregat tambahan.
Bukan kapal perang yang menggantikan unit sebelumnya.
Itu baru fregat, ada lagi kebutuhan empat unit destroyer, dua unit kapal induk LHD, 40 unit korvet hingga 60 unit kapal cepat rudal.
Belum termasuk minimal 12 unit kapal selam hingga ada puluhan Offshore Patrol Vessel (OPV).
Sangat banyak sekali, belum lagi kebutuhan rudal anti kapal, jelajah serang darat dan torpedo.
Jujur sangat panjang bagi militer Indonesia memodernisasi alutsista serta meningkatkan profesionalisme prajurit.
Tapi yang perlu diketahui selain membeli ialah kemampuan dalam merawat alutsista itu sendiri.
Lebih banyak jenis alutsista berarti membuat depo pemeliharaan militer Indonesia tambah pekerjaan.
Padahal tingkat readiness atau kesiapan tempur sebuah alutsista harus dijaga setinggi mungkin.
Ambil contoh KRI Brawijaya, semua spare part, upgrade serta perbaikan memerlukan peralatan khusus buatan Italia.
Sementara Indonesia masih mengoperasikan Martadinata class yang berasal dari Belanda dan membutuhkan spare part dari sana pula.
Belum lagi kapal perang dari Korea Selatan, Prancis hingga Fregat Merah Putih yang mencomot teknologi Babcock Inggris.
Banyaknya jenis barang akan meningkatkan resiko ketidaksiapan alutsista itu sendiri untuk digunakan dalam misi operasi.
Seperti dijelaskan di atas yakni membengkaknya biaya perawatan karena terlalu banyak alutsista yang dipakai serta mengganggu interoperabilitas karena sistem satu kapal ke kapal lainnya terkadang tak bisa terkoneksi.
"Inventaris drone TNI saat ini merupakan hasil dari strategi pengadaan yang terkesan oportunistik, menghasilkan apa yang disebut sebagai "kapabilitas tambal sulam". Akuisisi platform dari berbagai negara CH-4B dari China, ANKA dan Akinci dari Turki, ScanEagle dari AS, Aerostar dari Israel, dan Alpha
A900 dari Spanyol—menciptakan mimpi buruk logistik, pemeliharaan, dan interoperabilitas.
Pola pengadaan multi-vendor ini bukanlah sebuah anomali, melainkan cerminan dari filosofi
pengadaan sistemik TNI yang juga terlihat pada armada fregat. Hal ini menunjukkan adanya tantangan struktural yang lebih dalam, di mana pertimbangan seperti skema pembiayaan, hubungan diplomatik, atau kecepatan pengiriman seringkali mengesampingkan standardisasi jangka panjang. Implikasinya, sistem pembinaan personel dipaksa untuk terus-menerus berada dalam mode reaktif, berjuang untuk mengejar ketertinggalan dalam melatih personel untuk setiap platform baru yang berbeda," beber majalah Cakrawala terbitan Dinas Penerangan Angkatan Laut (Dispenal) Edisi 466 Tahun 2025 berjudul 'Menjawab Tuntuntan Peperangan Modern dari Akuisisi Fregat PPA dan Kemampuan Drone Nirawak'
Jawabannya iya, karena Indonesia membutuhkan 36 unit fregat tambahan.
Bukan kapal perang yang menggantikan unit sebelumnya.
Itu baru fregat, ada lagi kebutuhan empat unit destroyer, dua unit kapal induk LHD, 40 unit korvet hingga 60 unit kapal cepat rudal.
Belum termasuk minimal 12 unit kapal selam hingga ada puluhan Offshore Patrol Vessel (OPV).
Sangat banyak sekali, belum lagi kebutuhan rudal anti kapal, jelajah serang darat dan torpedo.
Jujur sangat panjang bagi militer Indonesia memodernisasi alutsista serta meningkatkan profesionalisme prajurit.
Tapi yang perlu diketahui selain membeli ialah kemampuan dalam merawat alutsista itu sendiri.
Lebih banyak jenis alutsista berarti membuat depo pemeliharaan militer Indonesia tambah pekerjaan.
Padahal tingkat readiness atau kesiapan tempur sebuah alutsista harus dijaga setinggi mungkin.
Ambil contoh KRI Brawijaya, semua spare part, upgrade serta perbaikan memerlukan peralatan khusus buatan Italia.
Sementara Indonesia masih mengoperasikan Martadinata class yang berasal dari Belanda dan membutuhkan spare part dari sana pula.
Belum lagi kapal perang dari Korea Selatan, Prancis hingga Fregat Merah Putih yang mencomot teknologi Babcock Inggris.
Banyaknya jenis barang akan meningkatkan resiko ketidaksiapan alutsista itu sendiri untuk digunakan dalam misi operasi.
Selain itu, terlalu banyak jenis fregat yang dioperasikan militer Indonesia membuat biaya perawatan melonjak tajam.
Disinilah pentingnya kemandirian alutsista, bila Indonesia bisa memproduksi kapal perang dan suku cadangnya sendiri, biaya perawatan murah tingkat readiness tinggi terjaga.
AL China atau PLAN bisa jadi contoh, 95 persen armada kapal perang mereka diproduksi dalam negerinya sendiri sehingga meningkatkan aspek commonality spare part hingga upgrade.
Output lainnya ialah mereka bisa menjual kapal perang dengan harga relatif murah ke negara lain lantaran bisa membuat suku cadangnya sendiri.
Bisa kita ambil contoh fregat Type 054A Jiangkai II satu unitnya seharga 348 juta dolar AS (Rp 5,7 triliun) sudah komplit dengan sensor serta radar minus persenjataan.
"Type 054A saat ini menghabiskan total biaya sekitar $348 juta per kapal untuk pembangunan dan perlengkapannya.
Perkiraan ini diperoleh dengan mengelompokkan kapal berdasarkan kategori sistem utamanya (lambung dan perlengkapan, propulsi/transmisi daya, persenjataan, dan elektronik) dan menghitung biaya masing-masing, serta biaya tenaga kerja yang dibutuhkan untuk merakit kapal menjadi produk jadi," jelas The Diplomat.
Sementara Brawijaya class satu unitnya seharga Rp 10,2 triliun dengan konfigurasi Light+ namun belum dengan paket senjata dan radar AESA Kronos Grand Naval.
Oke jika padu padannya tak seimbang, harga satu unit kapal destroyer Type 052D yang dikomersilkan China senilai 600-700 juta dolar AS (Rp 9-11 triliun) sudah full sensor dan persenjataan.
Harga di atas cuma kisaran kasar, mungkin bisa naik lagi sesuai dengan kondisi perekonomian dunia.
Dan Type 052D pun juga diincar Indonesia.
Pastinya militer Indonesia sadar bahwa ada potensi berbahaya mengintai bila terus mempraktekkan cara pembelian seperti ini.
Disinilah pentingnya kemandirian alutsista, bila Indonesia bisa memproduksi kapal perang dan suku cadangnya sendiri, biaya perawatan murah tingkat readiness tinggi terjaga.
AL China atau PLAN bisa jadi contoh, 95 persen armada kapal perang mereka diproduksi dalam negerinya sendiri sehingga meningkatkan aspek commonality spare part hingga upgrade.
Output lainnya ialah mereka bisa menjual kapal perang dengan harga relatif murah ke negara lain lantaran bisa membuat suku cadangnya sendiri.
Bisa kita ambil contoh fregat Type 054A Jiangkai II satu unitnya seharga 348 juta dolar AS (Rp 5,7 triliun) sudah komplit dengan sensor serta radar minus persenjataan.
"Type 054A saat ini menghabiskan total biaya sekitar $348 juta per kapal untuk pembangunan dan perlengkapannya.
Perkiraan ini diperoleh dengan mengelompokkan kapal berdasarkan kategori sistem utamanya (lambung dan perlengkapan, propulsi/transmisi daya, persenjataan, dan elektronik) dan menghitung biaya masing-masing, serta biaya tenaga kerja yang dibutuhkan untuk merakit kapal menjadi produk jadi," jelas The Diplomat.
Sementara Brawijaya class satu unitnya seharga Rp 10,2 triliun dengan konfigurasi Light+ namun belum dengan paket senjata dan radar AESA Kronos Grand Naval.
Oke jika padu padannya tak seimbang, harga satu unit kapal destroyer Type 052D yang dikomersilkan China senilai 600-700 juta dolar AS (Rp 9-11 triliun) sudah full sensor dan persenjataan.
Harga di atas cuma kisaran kasar, mungkin bisa naik lagi sesuai dengan kondisi perekonomian dunia.
Dan Type 052D pun juga diincar Indonesia.
Pastinya militer Indonesia sadar bahwa ada potensi berbahaya mengintai bila terus mempraktekkan cara pembelian seperti ini.
Yakni Logistic Nightmare atau mimpi buruk logistik.
![]() |
Kapal perang Indonesia beragam jenisnya |
Seperti dijelaskan di atas yakni membengkaknya biaya perawatan karena terlalu banyak alutsista yang dipakai serta mengganggu interoperabilitas karena sistem satu kapal ke kapal lainnya terkadang tak bisa terkoneksi.
"Inventaris drone TNI saat ini merupakan hasil dari strategi pengadaan yang terkesan oportunistik, menghasilkan apa yang disebut sebagai "kapabilitas tambal sulam". Akuisisi platform dari berbagai negara CH-4B dari China, ANKA dan Akinci dari Turki, ScanEagle dari AS, Aerostar dari Israel, dan Alpha
A900 dari Spanyol—menciptakan mimpi buruk logistik, pemeliharaan, dan interoperabilitas.
Pola pengadaan multi-vendor ini bukanlah sebuah anomali, melainkan cerminan dari filosofi
pengadaan sistemik TNI yang juga terlihat pada armada fregat. Hal ini menunjukkan adanya tantangan struktural yang lebih dalam, di mana pertimbangan seperti skema pembiayaan, hubungan diplomatik, atau kecepatan pengiriman seringkali mengesampingkan standardisasi jangka panjang. Implikasinya, sistem pembinaan personel dipaksa untuk terus-menerus berada dalam mode reaktif, berjuang untuk mengejar ketertinggalan dalam melatih personel untuk setiap platform baru yang berbeda," beber majalah Cakrawala terbitan Dinas Penerangan Angkatan Laut (Dispenal) Edisi 466 Tahun 2025 berjudul 'Menjawab Tuntuntan Peperangan Modern dari Akuisisi Fregat PPA dan Kemampuan Drone Nirawak'
Saat ini memang pengadaan fregat Indonesia banyak jenisnya, apakah akan ada penyederhanaan tipe kapal perang kedepannya?*
Posting Komentar untuk "Militer Indonesia Terlalu Beragam Membeli Jenis Fregat Ciptakan Logistic Nightmare"