Tanpa Dukungan Rudal Jelajah, Pendaratan Amfibi Marinir Indonesia Terancam Gagal

TIMEMOMENTS.COM - Indonesia menjadisalah satu negara yang masih mempertahankan doktrin operasi pendaratan amfibi yang dilaksanakan oleh pasukan Marinir.

Bahkan pendaratan amfibi menjadi operasi militer utama angkatan bersenjata Indonesia.

Militer Indonesia punya dua cara menyerbu lawan dengan pengerahan pasukan besar, pertama dengan pendaratan amfibi.

Kedua melalui serangan Lintas Udara (Linud) yang dilakukan pasukan payung.


Metode ini pernah dilakukan dalam operasi tempur nyata.

Dalam operasi Seroja menyerbu Timor Timur, pada 7 Desember 1975, militer Indonesia menerjunkan pasukan payung menggunakan C-130 Hercules ke ibukota Dili

Serangan Linud di pagi buta ini menjadi pembuka operasi Seroja.

Pertempuran sengit melawan Fretilin terjadi kala pasukan payung Indonesia menginjak tanah.

kjBoleh dibilang serbuan Linud kehilangan unsur pendadakan membuat jatuhnya banyak korban di pihak Indonesia.

Menyerbu dari Laut


Pada 6 Desember 1975 tepatnya sore hari, pasukan Marinir yang tergabung dalam Brigade 1 Pasrat sudah menaiki kapal LST di Atabae, sebuah subdistrik di Timor Timur.

Bersama dengan Batalyon Tim Pendarat 5 (BTP-5) Infanteri kedua pasukan pemukul tersebut diberangkatkan dari pantai Tailcao.

Rencananya pada pukul 05.00 pagi militer Indonesia melakukan pendaratan amfibi di Dili.

Pendaratan amfibi ini sebagai kekuatan utama militer Indonesia memback up serangan Linud dari pasukan payung.

PT-76 dan BTR-50 memegang peranan penting dalam operasi ini sebagai kendaraan lapis baja yang melindungi gerak maju pasukan Infanteri.

Selesai di Dili, pasukan Marinir diperintahkan naik kapal LST lagi.

Kali ini mereka diberi misi menyerbu Baucau pada 10 Desember 1975.

Tak banyak cakap, pasukan memasuki LST, kokang senjata lalu menyerbu Baucau pada pukul 03.32 dini hari.

Namun perjalanan menuju bibir pantai menggunakan tank amfibi baru mencapai sasaran pada 05.52.

Diketahui pasukan Marinir diturunkan dari kapal LST berjarak 20 km dari bibir pantai.

Gerak Kapal Kepantai (GKK) yang terlalu lama ini mengakibatkan kekhawatiran bahwa Fretilin sudah menyiapkan sambutan meriah di pesisir.

Untungnya Fretilin cuma punya kanon dengan jangkauan tembak 8 km, membuat proses pendaratan pasukan Marinir Indonesia tak begitu terancam.

Pendaratan ini sukses, pasukan Fretilin dipukul mundur ke wilayah pegunungan.

Ancaman Coastal Defense Modern

Saat ini bila Indonesia masih berpikiran melakukan operasi amfibi seperti di operasi Seroja itu sangat tidak relevan.

Kenapa? adanya sistem Coastal Defense Modern bakal menangkis segala serangan pendaratan amfibi seperti itu.

Misalnya bagi Indonesia itu sendiri yang mencoba membentuk sistem pertahanan pantai modern bermodalkan rudal anti kapal BrahMos.

BrahMos mempunyai jarak tembak 280-300 km.

Berarti Indonesia bisa menetralisir ancaman pendaratan amfibi musuh sejauh 300 km kedepan, sebelum lawan mendekati bibir pantai sudah remuk duluan.

Tapi bagaimana jika posisi dibalik, Marinir Indonesia yang akan menghadapi sistem pertahanan pantai modern saat ini?

Melihat pengalaman operasi amfibi di Baucau, pasukan yang diterjunkan ke laut naik tank amfibi sejauh 20 km saja butuh waktu relatif lama berenang menuju bibir pantai.

Tak mungkin pasukan diterjunkan di jarak lebih dari 300 km dari bibir pantai sasaran berenang menggunakan tank amfibi.

Coastal Defense Modern BrahMos

Bila tak ada solusi di sini maka pendaratan amfibi pasukan Marinir Indonesia terancam gagal total.

"Ketika sistem kesenjataan modern musuh di daerah pendaratan utama siap dengan senjata-senjata roket dan peluru kendali berjarak tembak yang jauh, akurat, presisi dan bahkan dengan area penghancuran yang luas dan berdaya hancur besar, maka mungkinkah kapal-kapal penempur yang dimiliki saat ini yang bertugas melaksanakan Bantuan Tembakan Kapal (BTK) menggunakan meriam-meriam utama dapat menghancurkan garis pertahanan musuh di tumpuan pantai pendaratan utama menjamin kelancaran dan keamanan pasukan pendarat?

Jawabannya adalah mustahil," ungkap majalah Seskoal Dharma Wiratama berjudul 'Pentingnya Pendaratan Pendukung Bagi Pendaratan Utama Operasi Amfibi dalam Mencapai Tujuan Operasi' Triwulan I tahun 2022.

Dari sinilah diperlukan sistem kesenjataan yang Lethal di pihak kawan untuk mendukung operasi pendaratan amfibi pasukan Marinir Indonesia.

Yakni penggunaan rudal jelajah untuk mengeliminasi atau setidaknya mengimbangi sistem pertahanan pesisir modern lawan.

"Sehingga perlu menempatkan roket dan rudal yang jaraknya juga jauh," jelasnya.

Indonesia tentu bisa mendapatkan rudal jelajah yang dimaksud, misalnya merealisasikan pembelian rudal jelajah serang darat Teseo Otomat Mk.2 yang bisa diinstal di Brawijaya class.

Atau mengakuisisi rudal Storm Shadow yang sudah terbukti dalam pertempuran bisa pula dipasang ke Brawijaya class.

Pastinya operasi pendaratan amfibi Marinir Indonesia lebih menggigit bila didukung Alpalhankam seperti rudal jelajah serang darat.*













Seto Ajinugroho
Seto Ajinugroho adalah seorang Wartawan yang berkecimpung di dunia Jurnalisme terutama menggeluti tentang informasi perkembangan teknologi pertahanan nasional dan internasional

Posting Komentar untuk "Tanpa Dukungan Rudal Jelajah, Pendaratan Amfibi Marinir Indonesia Terancam Gagal "