AS Nilai Indonesia Cocok Jadi Basis Operasi Depan Armada Penyerang US Navy untuk Hadapi PLAN China

AS nilai Indonesia cocok jadi Basis Operasi Depan armada US Navy (foto : USINDOPACOM)


TIMEMOMENTS.COM - Untuk sekedar diketahui jika AS sangat getol melobi Indonesia agar meminjamkan salah satu pulau atau wilayahnya untuk kepentingan operasi armada penyerang US Navy di Indo Pasifik.

Jakarta tak memperbolehkan hal ini karena tak sesuai dengan UUD 1945.

Lagian mereka tak mau jadi bagian dari kepentingan AS maupun China yang tengah adu kuat di Indo Pasifik.

Penolakan beberapa tahun lalu terhadap P-8 Poseidon AS yang hendak isi ulang bahan bakar di wilayah NKRI menegaskan sikap Non Blok dan tidak mendukung adanya konflik bersenjata di kawasan ini.

Baca Juga : Indonesia Berpotensi Bantu Kapal Perang AS Agar Terus Laksanakan Misi di Indo Pasifik

Meski di sini menolak, Filipina mengambil sikap sebaliknya dengan meminjamkan beberapa pangkalannya dipakai militer AS.

Tujuannya untuk membendung agresi People's Liberation Army Navy (PLAN) China yang terus menerus menegakkan klaim Nine Dash Line.

Angkatan bersenjata Filipina tak mampu melawan PLAN bila sendirian.

Strategi Rantai Pulau Pertama

AS memandang perlu merangkul beberapa Sekutu baru untuk menghadapi klaim Nine Dash Line.

Misalnya Vietnam dan India, kedua negara itu berusaha dirangkul Washington.

India diajak membentuk The Quad bersama Jepang dan Vietnam diberi akses kemudahan membeli F-16 berharga murah.

Ini dia yang menjadi alasan Hanoi mau diajak berdiskusi lebih dulu dengan mantan musuhnya itu.

Sebetulnya sejak tahun 1951, AS mempunyai strategi Rantai Pulau Pertama.

Taktik ini merupakan rencana militer untuk mengelilingi Uni Soviet dan China yang dianggap sebagai motor Sosialis.

Kepulauan Kuril, Filipina Utara dan Kalimantan dijadikan basis operasi depan dalam strategi ini.

Sehingga militer AS bisa menyerang Soviet dan China dari berbagai sudut.

Karena Soviet sudah bubar, kali ini sasaran cuma diarahkan ke Beijing dan strategi ini ternyata dijalankan.

Armada Penyerang US Navy

US Navy diketahui menempatkan 60 persen kekuatan kapal selam nuklirnya di Indo Pasifik.

Beberapa satuan tempur di USCENTCOM juga mulai digeser ke Pasifik.

USINDOPACOM jadi komando paling sibuk dan terkuat karena tanggung jawabnya memenangkan konflik melawan China.

Pergeseran kekuatan besar-besaran menandai bahwa kawasan ini memang jadi hot spot di masa depan.

"Jelas bahwa Amerika Serikat dan Indonesia sedang mengupayakan kerja sama keamanan yang lebih erat di berbagai bidang, termasuk dalam kewaspadaan maritim, yang dapat dimanfaatkan untuk melawan Tiongkok," jelas RAND pada 8 Desember 2023 lalu.

Latihan bersama pasukan Katak Indonesia dan USMC

Washington melihat wilayah Indonesia seperti Natuna, Batam dan Sulawesi patut dijadikan basis operasi depan US Navy.

Alasannya sederhana, karena ketiganya langsung menghadap ke wilayah konflik sehingga pengerahan pasukan lebih cepat.

Untuk mempermulus hal itu sejak 2015 AS mendorong pembentukan International Maritime Operations Center (IMOC) yang berkantor pusat di Indonesia.

"Untuk menghadapi tantangan itu, Angkatan Laut AS harus menjajaki pembentukan Pusat Operasi Maritim Internasional (IMOC) yang berpusat di Indonesia untuk menunjukkan komitmen Angkatan Laut terhadap Asia-Pasifik, memantau perkembangan maritim di Laut Cina Selatan dan Samudra Hindia, serta berfungsi sebagai mekanisme baru untuk memenuhi kebangkitan China," jelas USNI News dalam artikelnya berjudul 'U.S. Should Consider Establishing a South China Sea International Operations Center in Indonesia' pada 8 Maret 2015.

Sudah berulang kali pemerintah AS mendorong hal ini tapi Indonesia selalu berkata tidak karena alasan yang sudah disebutkan di awal artikel ini.*

Seto Ajinugroho
Seto Ajinugroho adalah seorang Wartawan yang berkecimpung di dunia Jurnalisme terutama menggeluti tentang informasi perkembangan teknologi pertahanan nasional dan internasional

Posting Komentar untuk "AS Nilai Indonesia Cocok Jadi Basis Operasi Depan Armada Penyerang US Navy untuk Hadapi PLAN China"